Penagihan Piutang Macet
Pertanyaan :
Saya merupakan pemilik perusahaan yang bergerak di bidang penjualan. Perusahaan yang saya pimpin memiliki beberapa piutang yang telah jatuh tempo kepada beberapa pembeli yang berbentuk badan hukum (perusahaan). Dalam perjanjian jual-beli dicantumkan batas waktu melakukan pembayaran atas barang tersebut. Perusahaan saya telah berulang kali melakukan penagihan, namun para pembeli tersebut belum juga melakukan pembayaran. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan agar piutang perusahaan dapat segera dilunasi? Terima kasih atas penjelasannya.
Indira Kurniawati – Jakarta Utara
Jawaban :
ibu Indira yang baik, memang permasalahan yang kerap kali timbul dalam Perusahaan yang bergerak di bidang penjualan, yaitu adanya piutang-piutang (hutang dagang) yang macet. Kata orang bijak: menjual memang jauh lebih mudah dibanding menagih; namun penjual yang sukses hanyalah mereka yang bisa menagih semua tagihannya tepat waktu. Atas dasar itu maka diperlukan strategi yang tepat sebelum pelaksanaan penjualan, sehingga pembayaran atas barang yang dijual bisa diperoleh tepat waktu.
Terhadap tagihan yang sudah macet, maka menurut kami ada setidaknya dua tahapan yang patut dilakukan, yaitu upaya non hukum dan upaya hukum. Setiap kasus wajib diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya non hukum, yakni penyelesaikan secara kekeluargaan. Agar upaya ini lebih terukur, maka setiap tahapan sebaiknya dilakukan secara tertulis, sehingga bisa dibuktikan adanya upaya-upaya tersebut. Misalnya, pada saat piutang sudah jatuh tempo, pihak Perusahaan ibu sebaiknya mengirimkan surat yang isinya menagih pembayaran utang karena telah jatuh tempo. Dalam surat tersebut ada baiknya pihak yang berhutang diundang untuk membicarakan penyelesaian atas piutang. Jika surat tidak ditanggapi, maka bisa dilanjutkan dengan surat somasi/teguran. Namun jika ada tanggapan atas surat, baik atas undangan maupun somasi, maka bisa ditindaklanjuti dengan meminta pernyataan atau jaminan dari yang berhutang, mengenai kapan utang tersebut dilunasi.
Setelah upaya non hukum dilakukan secara maksimal, dan ternyata pihak yang berutang tidak juga melunasi utangnya, barulah upaya hukum dapat dilakukan. Dengan demikian upaya hukum adalah pilihan terakhir setelah upaya non hukum gagal dilaksanakan. Ada 3 (tiga) upaya hukum yang memungkinkan ditempuh untuk kasus perusahaan ibu, yaitu upaya pidana (dugaan penggelapan), gugatan perdata (wanprestasi) atau mengajukan Permohonan Kepailitan.
Upaya hukum pidana terbuka dilakukan apabila si berutang telah menjual barangnya kepada pihak lain, dan pihak lain tersebut sudah membayar lunas barang tersebut kepada siberhutang, namun siberhutang tidak membayarkannya kepada perusahaan ibu. Dalam hal ini berarti kita harus dapat membuktikan bahwa barang tersebut sudah dibayar lunas oleh si pembeli (pihak ketiga). Apabila hal itu bisa dibuktikan, maka yang berhutang bisa dilaporkan atas dugaan tindak pidana penggelapan, sebagaimana yang diatur dalam pasal 372 KUH Pidana. Sebagai catatan, biasanya yang berutang akan lebih takut apabila dirinya diancam akan dilaporkan secara pidana, dari pada gugatan secara perdata. Namun jika barang tersebut dipakai sendiri atau dijual kepada pihak lain, akan tetapi pihak lainnya belum membayar, maka kasus tersebut menjadi kasus perdata, yaitu wanprestasi (cidera janji). Dalam kasus perdata, maka upaya hukum yang bisa dilakukan adalah menggugat secara perdata atas perbuatan cedera janji atau wanprestasi.
Tindakan wanprestasi dianggap telah terjadi apabila seseorang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang diperjanjikan, sekalipun dia sudah diperingatkan secara patut (pasal 1243 KUH Perdata). Kelemahan dari upaya hukum gugatan ini adalah, dibutuhkannya waktu yang relativ lama dari proses gugatan awal di Pengadilan Negeri, banding ke Pengadilan Tinggi, kasasi dan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung, yang bisa memakan waktu sampai sekitar 5 (lima) tahun. Lamanya waktu untuk menuntaskan suatu gugatan telah sering dimanfaatkan oleh debitur nakal (si berhutang), untuk tetap menunda pembayaran utang sampai gugatan berkekuatan tetap, padahal secara faktual dirinya memang mengakui berhutang dan mempunyai kemampuan untuk membayar.
Upaya hukum lain yang dapat dilakukan untuk menjerat para debitur nakal yaitu melalui upaya hukum Kepailitan. Upaya ini banyak dilakukan belakangan ini karena prosesnya lebih sederhana dan waktu penyelesaiannya juga jauh lebih cepat. Menurut UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan”), permohonan kepailitan bisa dilakuan terhadap debitur apabila debitur tersebut mempunyai dua kreditur, salah satunya sudah jatuh tempo dan pembuktian utang secara sederhana. Dengan demikian syarat mutlak yang harus dipenuhi jika ingin mengajukan Gugatan kepailitan terhadap suatu perusahaan, yaitu adanya minimal 2 kreditur (pihak yang berpiutang/yang mempunyai tagihan), salah satu dari tagihan tersebut harus sudah jatuh tempo dan pembuktian utang secara sederhana. Dalam kasus ibu di atas, maka jika kreditur (yang punya piutang) hanya perusahaan ibu sendiri, upaya hukum kepailitan tidak bisa dilakukan. Dengan demikian jika ibu ingin melakukan upaya mempailitkan, maka harus dicari kreditur lain yang juga mempunyai tagihan, sehingga syarat adanya dua tagihan bisa terpenuhi.
Demikian Bu Indira, semoga bermanfaat.
Terimakasih.
Penulis : Chris Santo Sinaga, S.H.
Pengacara di Kantor Hukum DSS & Partners