Menakar Kualitas Demokrasi Pasca Pengunduran Pilkada Akibat COVID19
Penyebaran Corona Virus 19 (Covid 19) telah sampai ke seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Mengingat begitu berbahayanya Covid 19 ini maka Presiden RI Joko Widodo telah menandatangani Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Desease 2019 (Covid – 19) Sebagai Bencana Nasional pada tanggal 13 April 2020.
Dampak dari ditetapkannya Covid 19 sebagai Bencana Nasional dan pemberlakukan PSBB di beberapa daerah telah mengakibatkan hampir seluruh segi kehidupan nasional menjadi terganggu. Hal itu juga berdampak pada perubahan program kerja pemerintah, bahkan banyak diantaranya yang mengalami penundaan karena semua sumberdaya dan dana yang ada difokuskan untuk melawan Covid 19.
PENUNDAAN PILKADA
Bisa dipastikan bahwa jadwal pelaksanaan pilkada akan mengalami penundaan, dari yang seharusnya dilaksanakan pada September 2020 sesuai dengan PKPU Nomor 15 tahun 2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada Serentak tahun 2020, menjadi diakhir tahun 2020. Presiden sudah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-undang. Dalam Perpu ini disebutkan bahwa pelaksanaan Pilkada Serentak ditunda hingga Desember 2020. Namun apabila hingga Desember 2020 Pandemi Covid 19 belum berakhir, maka pelaksanaan Pilkada Serentak bisa dijadwalkan kembali.
Sunguhpun dalam Perpu Nomor 2 tersebut telah diatur pemunduran Pilkada Serentak Desember 2020, namun banyak pihak yang meragukan hal itu bisa terlaksana. Direktur Eksekutif PERLUDEM (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi), Titi Anggraini salah satu yang ragu. Titi menjelaskan jika pencoblosan di lakukan 9 Desember 2020, maka seluruh tahapan setidaknya harus dimulai ada 9 Juni. Sementara Pemerintah baru saja menetapkan larangan mudik (http://m.cnnindonesia.com>nasional> Jokowi Teken Perpu Penundaan Pilkada 2020, diakses pada tanggal 22 Mei 2020).
Sejalan dengan itu maka KPU telah menunda pelaksanaan Tahapan Pilkada 2020 melalui Keputusan KPU RI Nomor: 179/PL.02.Kpt/01/KPU/III/2020 dan Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2020, tertanggal 21 Maret 2020. Dalam surat edaran itu disebutkan tahapan yang ditunda diantaranya pelaksanaan pelantikan Panitia Pemungutan Suara (PPS). Kemudian tahapan yang lainnya, yakni menunda pelaksanaan verifikasi syarat dukungan calon perseorangan yang belum dilaksanakan, menunda pembentukan petugas pemutakhiran daftar pemilih, menunda pelaksanaan pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih.
KUALITAS DEMOKRASI DALAM PEMILUKADA
Indikasi terkuat dari demokrasi yang berkualitas adalah semakin tumbuhnya kepercayaan dan optimisme masyarakat terhadap system demokrasi dan terhadap pemimpinnya. Jika hal ini bisa dicapai, maka akan menjadikan demokrasi Indonesia lebih baik dari sekedar penghitungan suara atau transaksi politik. Demikian salah satu isi Pidato Kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 16 Agustus 2014 di hadapan DPR RI (http://www.republika.co.id>Isi Ukuran Demokrasi, diakses pada tanggal 23 April 2020).
Dalam pemilu berkualitas maka warga Negara harus bebas untuk menentukan pilihannya secara mandiri, tanpa ada paksaan dan tekanan dari pihak manapun, termasuk ketiadaan money politik. Dari sisi pihak yang dipilih, pemilu berkualitas harus menjamin kompetisi yang adil. Pemilu harus memberi peluang yang sama kepada semua kandidat yang berpartisipasi untuk berkompetisi dalam perebutan jabatan pemerintahan secara adil dan tidak menggunakan daya paksa.
Khusus untuk Pemilukada, baik buruknya kualitas pemilu juga sangat dipengaruhi oleh keberadaan Petahana (Incumbent). Dalam Pemilukada serentak tahun 2015 banyak Petahana yang menang dalam Pilkada (http://www.suara.com>news>Penyebab Banyak Petahana Menang di Pemilukada Serentak, diakses pada tanggal 23 April 2020). Ada hal-hal yang dinilai menguntungkan Calon Petahana (Incumbent) yang maju dalam Pilkada serentak, antara lain bahwa mereka tidak diwajibkan mengundurkan diri, sebagaimana yang diatur dalam pasal 7 UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Hal itu sangat berbeda dengan calon yang berasal dari PNS, pegawai BUMN/BUMD, TNI/Polri dan legislator, yang wajib mengundurkan diri manakala sudah mendaftar menjadi calon Kepala Daerah.
Hal lain yang menjadi sorotan di Pemilukada 2015 adalah netralitas birokrasi dalam tahapan pelaksanaan Pilkada. Direktur Eksekutif Pilkada Watch Wahyu Permana mengatakan birokrasi sangat rentan dimanfaatkan terutama oleh daerah-daerah yang memiliki calon petahana (Incumbent). Kondisi tersebut karena calon petahana memiliki jaringan dan kesempatan melakukan politisasi terhadap birokrasi dan ASN. Modus umum yang digunakan yakni memanfaatkan jaringan kepala desa untuk mengarahkan kecalon tertentu, memanfaatkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) melalui mobilisasi, pemanfaatan asset-asset pemerintah baik yang bergerak maupun tidak, serta penggunaan anggaran untuk kepentingan calon petahana (Incumbent) (http://m.cnnindonesia.com>nasional> Birokrasi Rentan Dimanfaatkan oleh Calon Petahana di Pilkada, diakses pada tanggal 23 April 2020).
Inilah hambatan dalam pilkada berkualitas yang sehat dan adil pada tahun 2015. Semoga KPU dan pemerintah bisa benar-benar belajar dari permasalahan tersebut untuk menjadikan pemilukada 2020 menjadi jauh lebih baik dan berkualitas.
PROSPEK DEMOKRASI PASCA PENGUNDURAN PILKADA
Pengunduran Pilkada akibat Covid 19 bisa memberi prospek yang positif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Semakin jauh pengunduran pemilukada maka semakin berpeluang bagi terciptanya pemilukada yang lebih adil dan jujur, yang tentu akan berbanding lurus dengan kualitas demokrasi sebagai hasil akhirnya. Namun hal itu tentu tergantung dari kebijakan pemerintah, apakah memperpanjang masa jabatan kepala daerah atau menggantinya dengan PLT (Pelaksana Tugas). Untuk kebaikan demokrasi maka sebaiknya kepala daerah digantikan oleh PLT yang independen dan profesional.
Penundaan Pemilukada sampai dengan Desember 2020 tentu akan berbeda dampaknya dengan penundaan Pemilukada sampai dengan September 2021. Jika penundaan hanya sampai dengan Desember 2020 (penundaan 3 bulan, dari yang seharusnya September 2020), maka efek kekuasaan petahana masih sangat kuat. Sebagaimana ketentuan yang berlaku, petahana dilarang melakukan penggantian pejabat dalam waktu 6 bulan sebelum mengakhiri masa jabatan (Pasal 71 ayat (2) UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota).
Merujuk kepada penggantian pejabat di atas maka bisa dipastikan jika pilkada hanya diundur selama 3 bulan, tentulah pejabat yang ditunjuk oleh kepala daerah masih menjabat, sehingga pengaruhnya tentu masih sangat kuat. Sedangkan apabila pengunduran pilkada dilakukan selama 1 tahun, maka independensi dari pejabat (SKPD, ASN, Kepala Desa/Lurah) seyogianya akan lebih baik. Mereka tidak lagi terbelenggu pada tekanan mantan kepala daerah yang mengangkat mereka.
Berdasarkan penjelasan di atas maka prospek demokrasi melalui pelaksanaan Pemilukada diprediksi akan lebih baik dengan penundaan pilkada sampai dengan September 2021. Namun demikian semua itu tergantung dari sikap Pemerintah Pusat terkait pengisian kepala daerah setelah masa jabatannya berakhir. Kiranya pemerintah pusat benar-benar mempergunakan moment ini sebagai sarana untuk membangun kembali demokrasi yang berkualitas. Dengan cara ini kita berharap akan terpilih pemimpin-pemimpin di daerah yang benar-benar datang dengan niat untuk membangun serta memberi segala kemampuan terbaiknya, bukan sebaliknya untuk mengambil hak rakyat dengan cara menipu rakyat. Semoga saja terwujud.
* Penulis adalah Advokat, Kurator/ Pengurus dan Dosen Hukum Perburuhan di Universitas Taruma Negara dan Dosen Tetap STIH Gunung Jati Tangerang.