PHK Karena COVID -19
Presiden RI Joko Widodo telah menandatangani Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Desease 2019 (Covid – 19) Sebagai Bencana Nasional pada tanggal 13 April 2020. Kepres ini muncul sebagai upaya Pemerintah untuk melakukan percepatan terhadap pemberantasan Pandemi Covid 19.
Terbitnya Kepres Nomor 12 di atas merupakan serangkaian upaya yang saling medukung dengan pemberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Desaase 19. PSBB itu sendiri saat ini sudah disetujui diberlakukan di beberapa daerah, seperti DKI Jakarta, Tangerang, Bogor, Bekasi dan sekitarnya.
Penentuan status Covid 19 sebagai Bencana nasional maupun ditetapkannya beberapa daerah dalam status PSBB telah menimbulkan dampak yang sangat besar dibidang ketenagakerjaan. Sekolah ditutup, tempat kerja diliburkan, pembatasan moda transportasi, dan lain-lain, yang berakibat pada terhentinya proses produksi guna menghasilkan barang dan jasa. Akibatnya pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan dan pengusaha tidak dapat memperoleh keuntungan, sebagai akibat dari sesuatu keadaan yang berada di luar kekuasaan para pihak.
Covid 19 Sebagai Keadaan Memaksa (Force Mejeur).
Terjadi perdebatan terkait ditetapkannya Covid 19 sebagai Bencana Nasional, apakah hal itu termasuk sebagai Keadaan Memaksa (Force majeur) atau tidak. Untuk memahaminya lebih dalam, mari kita lihat Pengertian dari Keadaan Memaksa, yaitu suatu keadaan di luar kendali para pihak yang terjadi setelah diadakannya perjanjian, sehingga menghalangi debitur/pihak untuk memenuhi prestasinya sebagaimana diperjanjikan kepada pihak lainnya (http://legalstudies71.blokspot.com/2015/07/pengertian-keadaan-memaksa.html) diakses pada tanggal 15 April 2020). Karena keadaan memaksa itu terjadi diluar kendali para pihak, maka tidak ada pihak yang bisa dipersalahakan.
Ketentuan tentang Keadaan memaksa diatur dalam Pasal 1245 KUH Perdata, yang berbunyi : “Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang dilarang”.
Berdasarkan ketentuan pasal 1245 KUH Perdata di atas maka apabila pihak yang tidak dapat menunaikan prestasinya dapat membuktikan hal itu terjadi karena keadaan memaksa (force Majeur), maka pihak lainnya tidak dapat meminta pemenuhan terhadap prestasi tersebut.
Keadaan memaksa (force majeur) itu sendiri bisa bersifat tetap, misalnya karena bencana alam, atau bisa juga sementara, misalnya karena kebijakan pemerintah untuk kurun waktu tertentu. Atas dasar itu maka dampak keadaan memaksa terhadap keberlangsungan perjanjian juga dipengaruhi oleh sifat tetap atau sementaranya keadaan memaksa tersebut.
Dalam suatu perjanjian biasanya diatur tatacara pelaksanaan keadaan memaksa. Pihak yang terkena keadaan memaksa tersebut wajib memberitahukan keadaan tersebut kepada pihak lainnya dalam kurun waktu tertentu, misalnya 2 kali 24 jam. Jika hal itu dilakukan maka pihak lainnya tidak bisa lagi menuntut pelaksanaan prestasi sampai dengan keadaan berjalan normal. Dalam kondisi demikian maka biasanya para pihak wajib duduk kembali untuk menentukan kelanjutan dari kontrak. Jika keadaan memaksa tersebut bersifat permanen, sehingga pelaksanaan perjanjian menjadi tidak mungkin dilaksanakan, maka bisa disepakati untuk mengakhiri perjanjian. Jika sifat dari keadaan memaksa tersebut hanya sementara, maka bisa disepakati menunda pelaksanaan perjanjian sampai dengan berakhirnya masa keadaan memaksa.
Jika kita melihat sifat dari kebijakan terkait penanganan Covid 19 yaitu : kebijakan dibuat oleh pemerintah; sifatnya adalah untuk penaggulangan bencana nasional secara masif; berdampak pada diberhentikannya operasional perusahaan yang memaksa pekerja tidak bekerja bukan karena kehendak pekerja atau pengusaha, maka menurut penulis Penetapan Covid 19 sebagai Bencana Nasional serta penetapan beberapa daerah dalam status PSBB, telah memenuhi syarat untuk disebut sebagai keadaan memaksa (Force Majeur) bagi perusahaan-perusahaan yang terkena dampak.
PHK Karena Keadaan Memaksa
Ada banyak alasan terjadinya PHK menurut UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, salah satunya adalah karena Keadaan memaksa. Menurut Pasal 164 ayat (1), Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Sungguhpun berdasarkan pasal 164 ayat (1) di atas disebutkan Pengusaha bisa melakukan PHK terhadap pekerja karena karena keadaan memaksa (Force majeur), tentu hal itu tidak bisa dilakukan secara serta merta. Kita harus terlebih dahulu melihat sifat dari keadaan memaksa tersebut, apakah bersifat permanen atau hanya sementara.
Mengingat UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur secara khusus tentang Keadaan Memaksa (Force Majeur), maka kita harus melihat ketentuan terkait hal itu melalui pasal 1245 KUH Perdata, sebagaimana yang sudah kami kemukakan di atas.
Jika memperhatikan peristiwa merebaknya Pandemi Corona yang berasal dari Wuhan, Cina, maka bisa dikatakan kalau virus ini hanya bersifat sementara. Hal ini terbukti karena di negara asalnya virus ini sudah bisa diatasi dan kehidupan sudah mulai berjalan normal. Atas dasar itu maka Peristiwa Bencana Nasional Covid – 19 ini dapat dikatakan sebagai keadaan memaksa (Force Majeur) yang bersifat sementara. Semoga saja perkiraan para pakar bahwa pandemi ini akan menurun pada bulan Juni 2020 mendatang.
Berdasarkan penjelasan di atas, jika dihubungkan dengan pasal 164 ayat (1), maka PHK karena alasan Penetapan Covid 19 sebagai Bencana Nasional masih perlu ditinjau lebih dalam. Menurut penulis harus digali/dibuktikan apakah dampak peristiwa Covid 19 tersebut mengakibatan perusahaan tutup selamanya, atau hanya tutup sementara. Jika peristiwa Covid 19 terbukti mengakibatkan perusahaan tutup permanen, maka bisa dijadikan alasan untuk melakukan PHK berdasarkan pasal 164 ayat (1), dengan kewajiban pengusaha untuk membayar uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat(2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Namun jika perusahaan hanya tutup untuk sementara selama PSBB atau selama menjalankan program nasional melawan Covid 19, maka perusahaan tidak bisa melakukan PHK terhadap pekerja. Yang bisa dilakukan adalah menunda pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak selama keadaan memaksa (Force Majeur) berlangsung.
Namun tentulah ketentuan di atas tidak berlaku mutlak karena buruh harus tetap hidup selama tidak bekerja. Terkait dengan itu Menteri Tenaga Kerja sudah mengeluarkan Surat Edaran Nomor: M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid 19. Dalam Surat Edaran ini diatur apabila perusahaan melakukan pembatasan kegiatan usaha sebagai dampak dari kebijakan pemerintah dalam penanggulangan Covid 19 yang mengakibatkan pekerja/buruh tidak masuk bekerja, maka dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha, perubahan besaran dan cara pembayaran upah dilakukan sesuai dengan kesepakatan pengusaha dan buruh/pekerja. Berdasarkan ketentuan ini maka terbuka kemungkinan untuk membicarakan pengurangan besaran upah pekerja selama pekerja tidak bekerja.
Permasalahannya adalah terkait dengan jangka waktu, sampai berapa lama hal ini bisa dilakukan karena kita tidak tau sampai kapan Covid 19 bisa dikalahkan. UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tidak ada mengatur pengupahan dalam kondisi ini. Namun sebagai acuan bisa saja melihat pasal 81 UU No. 13 tahun 2003 yang mengatur pembayaran upah kepada pekerja yang sakit. Menurut pasal tersebut pekerja digaji 100 % pada 4 bulan pertama, 75 % empat bulan kemudian, 50 % empat berikutnya dan 25 % untuk bulan-bulan selanjutnya. Namun titik penekanannya adalah pada kemampuan perusahaan dan kelangsungan hidup pekerja selama tidak bekerja.
Utamakan Musyawarah Mufakat.
Kita harus mengakui bahwa situasi saat ini memang benar-benar sulit, yang bahkan bisa lebih sulit dari krisis ekonomi pada tahun 1998. Oleh karena itu diperlukan kebersamaan dan saling pengertian antara Pengusaha dan Pekerja/Serikat Pekerja dalam menghadapi persoalan ini.
Dukungan pemerintah juga tentu sangat penting, baik dalam rangka memberikan jaring pengaman bagi kelangsungan hidup pekerja maupun masa depan kelangsungan usaha perusahaan. Kita bisa melihat program yang sudah dijalankan pemerintah untuk memberi bantuan kepada rakyat (termasuk pekerja yang terdampak), seperti pemberian Kartu Pra Kerja, Program Keluarga Harapan, Bantuan Sosial Tunai Langsung dan Kartu Sembako, dengan total anggaran sebesar Rp.482,5 triliun. Selain program ini di Kementerian juga dilaksanakan Program Padat Karya Tunai, misalnya di Kementerian Desa dengan anggaran Rp.16,9 triliun. (http://bebas.kompas.id>2020/04/13).
Melalui gotong royong nasional, maka kita yakin Covid 19 bisa segera kita kalahkan, sehingga kehidupan sosial ekonomi bisa kembali berjalan normal.
* Penulis adalah Praktisi Hukum dan Dosen Hukum Perburuhan di Universitas Taruma Negara dan STIH Gunung Jati Tangerang.