Menteri Perdagangan Agus Suparmanto: Saya Harus Bikin Iklim Usaha Sejuk
Sejak pemberlakuan protokol normal baru (new normal), kebiasaan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto saat bepergian turut berubah. Mengenakan masker, mencuci tangan dengan cairan disinfektan, hingga menjaga jarak menjadi kebiasaan barunya setiap kali ke luar rumah. “Kalau gandengan tangan bisa ditanya surat nikahnya. Saya bilang ke istri, Mah, jangan deket-deket, daripada ntar ditanya surat nikahnya, he-he-he,” kata Agus dalam wawancara khusus dengan Tempo, Rabu, 24 Juni lalu.
Agus, 54 tahun, mengatakan kebijakan pemerintah memperkenalkan tatanan baru itu memang bertujuan mempercepat penanganan wabah covid-19 di bidang sosial, kesehatan, hingga perdagangan. “Supaya kehidupan kita kembali normal secara bertahan” ujarnya. Ia mengatakan, meski ekonomi kini mulai digerakkan dengan dibukanya pusat belanja, pasar dan retail modern, keselamatan masyarakat tetap diutamakan lewat penerapan protokol kesehatan.
Agus menerima wartawan Tempo, Agung Sedayu, Mahardika Satria Hadi dan Khairul anam, di ruang kerjanya. Didampingi pengacaranya, Harris Sarana dan Sehat Damanik, dia menjelaskan strateginya memitigasi dampak pandemi di sektor perdagangan, keputusan pemerintah mengijikan ekspor alat pelindung diri, dan perlunya kuota impor untuk sejumlah komuditas.
Ia juga mengklarifikasi pemberitaan Tempo yang mengaitkan dirinya dengan silang sengkarut proyek penambangan nikel PT Aneka Tambang di Maluku Utara. Pada edisi 30 Maret–5 April 2020, majalah tempo menurunkan laporan investigasi yang berjudul “Kisruh Proyek Menteri Agus”. Laporan itu menyoroti keterkaitan Agus dengan berbagai kejanggalan dalam sebuah proyek penambangan bijih nikel di Tanjung Buli, nun di pelosok Halmahera Timur, Maluku Utara. Agus dendiri adalah investor PT Yudistira Bumi Bhakti, yang mengerjakan proyek itu pada Tahun 2001-2014.
Agus merasa keberatan terhadap artikel tersebut. Ia merasa namanya dicemarkan. Dewan Pers yang memediasi penyampaian keberatan tersebut menerbitkan Surat Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi DP Nomor 23/PPR-DP/V/2020 yang menilai judul artiel itu tidak akurat tapi menyatakan seluruh liputan di dalamnya memenuhi kaidah jurnalistik. Atas ketidakakuratan itu, majalah tempo menyampaikan permintaan maaf ke pada Agus Suparmanto. Wawancara ini sekaligus merupakan bagian dari hak jawab.
Bagaimana awal mula hubungan Anda dengan PT Yudistira Bumi Bhakti?
Waktu itu banyak penawaran ke saya. Salah satunya YBB (Yudistira Bumi Bkahti), yang menawarkan usaha tambang nikel. Posisi saya sebagai investor karena tidak menangani persoalan teknis. Saya lihat dan evaluasi, rospek usaha itu cukup bagus. Saat itu saya diajak oleh Pak Juandy (Tanumihardja, Direktur Utama PT YBB) dan Pak Miming (Leonardo, Komisaris PT YBB). Itu sekitar tahun 2000. Prosesnya panjang sehingga masuk pada 2001. Latar belakang saya bukan tambang. Saya masuk untuk investasi.
Benarkah Anda berinvestasi sekitar US$ 6 Juta dalam proyek tersebut?
Iya, US$ 6-7 juta. Tapi dalam hal-hal lain saya tidak ikut arena itu urusan internal YBB. Mungkin mereka punya kerja sama lain, saya juga tidak tahu karena item-nya banyak. Yang saya lihat hanya bagaimana pelaksanaannya karena sistemnya itu saya sebagai investor. Bagian saya itu saja. Saya hanya memastikan modal saya bisa kembali. Saya bukan pemilik saham. saya juga bukan direksi. Yang penting, saya taruh dana di sana. Saya tidak terlibat urusan teknis serta proses di belakangnya karena itu bukan bagian dan wewenang saya.
Mengapa Anda menyuntikkan modal sejumlah itu?
Itu berdasarkan perhitungan kebutuhan peralatan. Dana YBB tidak 100 persen dari saya. Perusahaan juga punya dana. Setelah dihitung, kekurangannya yang diminta ke saya senilai itu.
Sejauh mana Anda mengetahui ihwal keikutsertaaan PT Yudistira dalam tender di PT Aneka Tambang untuk menambang dan mengangkut bijih nikel di Tanjung Buli, Halmahera Timur?
Semua proses itu dilakukan oleh YBB sejak awal. Saya hanya tahu mereka butuh dana.
PT Yudistira memenangi lelang proyek penambangan dan pengangkutan bijih nikel PT Aneka Tambang pada Tahun 2001. Namun, sejak tahun 2004, perusahaan mendapatkan proyek melalui penunjukan langsung. Apakah Anda mengetahui proses tersebut?
Saya tidak tahu. Itu sudah terlalu teknis dan itu wewenang direksi dan pemegang saham. saya tidak bisa masuk karena itu mencampuri internal perusahaan dan itu bukan kapasitas saya sebagai investor. Sama saja seperti kita mempunyai perusahaan terus pinjam uang ke bank. Bank tidak mungkin ikut campur usahanya. Kan, tidak bisa. Posisi saya sebagai investor seperti bank tadi. Saat perusahaan mengajukan permintaan kredit, bank hanya melihat siapa pemilik saham dan direksinya. Tidak mungkin melihat isi proyeknya. Bagaimana prosesnya dan lain-lain. Itu di luar ranah kami.
Apakah dalam perjalanannya PT Yudistira mendapatkan keuntungan dari proyek tambang nikel di Tanjung Buli?
Iya untung. Pembagian keuntungannya itu urusan saya dengan YBB, bukan dengan orang-orang diluar itu.
Berapa pembagian keuntungan untuk Anda?
Intinya, saya dan perusahaan mengambil bagian sekitar 70 persen. Itu dibagi dengan perusahaan. Saya tidak mau personal, karena ini perusahaan. Misalnya dia menjual saham kepda orang lain, kan, saya tidak melihat ke pribadinya, tapi ke perusahaannya. Sehingga secara legal, ada PT (perseroan terbatas), saya mauk. Soal perusahaan itu punya perjanjian lain bukan urusan saya. Ini tidak bisa seolah-olah abu-abu bahwa saya terlibat. Tidak. Saya hanya memantau keuangan, hasilnya apa. Kalau untung, ya sudah. Saya hanya berupaya menyelamatkan dana yang saya taruh.
Mengapa Anda tertarik menjadi investor PT Yudistira?
Saat itu dijanjikan akan untung, meski pada tiga-empat tahun pertama rugi. Saya sempat panik juga, waduh, kok, rugi. Namun setelah itu mulai untung. Pengusaha kan ada kalanya untung, ada kalanya rugi. Saya pakai insting pribagi saja. Apalagi ini sudah kecebur. Kalau tidak diteruskan, saya harus merelakan duit yang sudah di investasikan.
Mengapa bisa rugi?
Saya tidak tahu apa penyebabnya, saya hanya tahu rugi. Saya bisa tahu karena saat rugi, keungan minus, perusahaan memohon pendanaan ke saya. Tahun Keempat mulai tidak rugi, untung nol atau sedikit. Tahun kelima baru mulai naik untungnya. Intinya, saat tahun-tahun awal YBB mengalami kerugian, mereka mengajukan permohonan pendanaan. Saya mengeluarkan dana tadi secara bertahap.
Sempat ada dugaan markup nilai proyek dalam kerja sama PT Yudistira dan PT Aneka Tambang. Ini juga sempat menjadi temuan tim audit Internal PT Aneka Tambang. Tanggapan Anda?
Saya tidak tahu soal itu karena tidak pernah berhadapan dengan Antam (PT Aneka Tambang). Sata tidak kenal dengan pejabat Antam, ketemu dan sebagainya. Kedua, itu persoalan yang sangat teknis. Saya tidak terlalu menguasai hal teknis tambang.
Pada 3 Januari 2000, Anda menandatangani Nota Kesepahaman (MOU) dengan sejumlah perusahaan tentang kerja sama mendapatan proyek penambangan bijih nikel PT Aneka Tambang. Apa saja isinya?
Saya tidak pernah membuat kesepakatan secara pribadi.
Nota kesepahaman yang dimaksud adalah saat Anda menjadi Direktur Utama PT Mitrasysta Nusantara.
Oh, iya, yang mewakili Mitrasysta. MOU itu tidak terlaksana. Karena itu setelah ditanda-tangani tidak ada pelaksanaan. Setelah itu selesai. Dalam MOU ada empat perusahaan (PT Mitrasysta Nusantara, PT Surya Labuhan Sari, PT Yudistira Bumi Bhakti, dan PT Trecons Multisarana). Saya tanda tangan atas nama perusahaan, bukan pribadi. Dalam perkembangannya, MOU itu tidak terlaksana. Perusahaan-perusahaan akhirnya tidak terlibat lagi. Nah, berlakangan saya ditawari Pak Juandy dan Pak Miming berinvestasi di YBB. Itu yang saya tahu.
Pada 13 Maret 2001, ada nota kesepahaman pembagian keuntungan PT Yudistira yang menyebutkan 70 persen keuntungan diberikan ke investor dan sisanya ke penggagas proyek. Bagaimana ceritanya?
Saya tidak ikut dalam kesepakatan pada 13 Maret 2001. Saya tidak pernah tanda tangan MOU yang itu. Itu kesepakatan antara perusahaan (YBB) dan orang-orang yang tanda tangan di dokumen itu. selama ini diisukan seolah-olah saya ada di sana. Padahal nama saya juga tidak ada di dokumen MOU itu karena memang saya tidak pernah terlibat dalam pembuatannya. Hubungan saya langsung dengan YBB, Juandy dan Miming selaku direktur dan komisaris. Mereka pemilik saham perusahaan. Juandy 50 persen, Miming 50 persen. Jadi MOU pembagian keuntungan itu dibuat oleh perusahaan bersama orang-orang yang terlibat dalam komitmen.
Jadi anda hanya menandatangani nota kesepahaman pada Januari 2000?
Iya, bukan sebagai pribadi tapi sebagai wakil perusahaan (PT Mitrasysta). Kalau sebagai pribadi, tidak ada.
Pada 2013, bekas kongsi bisnis Anda mengadu ke polisi, mengaku ditipu karena Anda tidak membagi keuntungan proyek PT Aneka Tambang kepada mereka. Apa yang sebenarnya terjadi?
Kembali ke MOU tadi, coba dilihat siapa pihak yang menandatanganinya. Pihaknya kan perusahaan. Memang saya digugat saat itu. Sebenarnya, kalau saya boleh ngomong jujur, itu salah alamat karena saya bukan orang yang harus membagikan keuntungan. Yang membagikan itu perusahaan. Saya tidak pernah punya kontrak dengan orang yang pernah menggugat saya. Kedua, perusahaan yang membagikan itu kontraknya dengan siapa. Kalau dengan perusahaan, ya harus perusahaan, bukan orang lain.
Kalau memang harus menuntut ke perusahaan, mengapa Anda sampai digugat?
Orang mau menuntut siapa saja itu hak mereka. Kami tidak bisa melarang orang menuntut setiap pihak. toh yang bernarkan kelihatan di sini. Jadi secara perdata dan pidana juga enggak ada. Makanya saya bertanya, kenapa ke saya nih, ini salah alamat.
Pengaduan itu sempat usai setelah Anda setuju meneken akta perjanjian perdamaian pada 3 April 2014. Apa isi akta perdamaian itu?
Mereka salah alamat. Tapi, karena dikaitkan dengan MOU, makanya dinotariatkan. Semua yang digugat dimasukkan nota perdamaian supaya dikemudian hari tidak ada semacam dispute. Jangan sampai nanti ada yang tidak lengkap. Tapi saat itu yang membayar juga akhirnya PT Yudistira. Saya enggak ikut membayar apa-apa.
Selain Anda, siapa saja yang digugat waktu itu?
Ada beberapa orang. Banyak yang gak terkait.
Anda waktu itu sampai dilaporkan ke polisi…
Setiap orang berhak lapor ke polisi, tapi dia harus tahu konsekuensi hukumnya kalau ternyata itu tidak benar. Kita juga tidak bisa melarang orang tidak suka kepada kita. Makanya saya heran, apa motivasi melibatkan saya dari dulu sampai ribut-ribut. Kecuali ada nama saya, saya teken silahkan.
. . .
Sumber: Majalah Berita Mingguan Tempo 6-12 Juli 2020 Halaman 92-95.